BAB I
PENDAHULUAN
Kestabilan harga dan nilai tukar
merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi
masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu,
tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia
selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan
nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian
kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk
mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang
beredar atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach.
Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base
money) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang
primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, yaitu M1 dan M2,
diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang
terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak
dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan
moneter seperti telah diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal
krisis ekonomi menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan
stabilitas moneter. Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan
kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan
masyarakat kepada perbankan nasional. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan
suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan
hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi
rupiah berangsur surut.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju
inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar rupiah yang telah jauh menguat
dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang gerak bagi Bank
Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong penurunan suku
bunga domestik. Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti oleh suku
bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju penurunan
yang hampir sama. Suku bunga kredit (kredit modal kerja) pun mengalami penurunan meskipun
tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga simpanan perbankan. Penurunan
laju inflasi, penguatan nilai tukar rupiah, dan penurunan suku bunga membentuk
suatu lingkaran yang saling memperkuat (virtuous circle) sehingga
membuka peluang bagi pemulihan ekonomi. Tanda-tanda awal kebangkitan ekonomi
Indonesia mulai muncul sejak triwulan I 1999 ketika PDB riil dalam triwulan
tersebut untuk pertama kalinya sejak 1997 mencatat pertumbuhan triwulanan
positif.
Bagi masyarakat
secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat penting khususnya
bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi seringkali
dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat menggerogoti
daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia usaha,
inflasi yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan
dengan demikian akan berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka
panjang. Bagi banyak ekonom, telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi
yang tinggi akan berdampak buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Bahkan, penelitian dengan menggunakan panel data dari beberapa negara
membuktikan bahwa laju inflasi yang moderat sekalipun dapat berdampak buruk
bagi proses pertumbuhan ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 INFLASI DAN RESPONS TERHADAP
NILAI TUKAR
2. 1. 1. Inflasi
Dalam ilmu
ekonomi, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum
dan terus-menerus (kontinyu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat,
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi,
termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata
lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinyu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi rendahnya tingkat
harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan
inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap
terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secar terus-menerus dan saling
mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan
persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.
Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan
adalah CPI dan GDP Deflator.
Inflasi
memiliki dampak posistif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya
inflasi yang terjadi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh
yang posistif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu
meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja,
menabung, dan melakukan investasi. Sebaliknya alam masa inflasi yang parah
yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan
perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak
bersemangat kerja, menabung atau melakukan investasi dan produksi karena harga
meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negri
atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan
mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi merosot dan terpuruk dari waktu
ke waktu.
Bagi
masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil
contoh, seorang pensiunan pegawai negri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang
pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 atau 13
tahun kebudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang
pensiunannya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya
orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya
pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya pegawai
yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi
juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin
menurun. Memang tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas
bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha
dan investasi akan sulit berkembang karena untuk berkembang dunia usaha
membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi
orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan karena pada
saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan
pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan
mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika
dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi
produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih
tinggi dari pada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen
terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha
besar). Namun, bila inflasi meneybabkan naiknya biaya prodduksi hingga pada
akhirnya merugikan produsen maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, tidak
sanggup mengikuti laju inflasi usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut
(biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara
umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,
mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat
spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit
neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.
Cara mengatasi
inflasi:
1. pemerintah
berusaha menekan inflasi serendah-rendahnya karena inflasi tidak dapat
dihapuskan sama sekali.
2. Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar
dan/atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga.
3. Kebijakan moneter dengan cara bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar
sehingga akan terjadi perubahan jumlah uang yang beredar.
4. Memperkuat Politik
diskonto (discount policy), yaitu politik bank sentral untuk mempengaruhi
peredaran uang dengan jalan menaikan dan menurunkan tingkat bunga.
5. Kebijakan Pasar
Terbuka (open market policy) yaitu dengan jalam membeli atau menjual
surat-surat berharga.
6. menentukan cash ratio
yaitu angka perbandingan minimum antara uang tunai yang dimiliki oleh bank umum
dengan jumlah uang giral (cek.giro dan sebagainya) yang dikeluarkan oleh bank
yang bersangkutan.
7. Menurunkan
cadangan minimum sehingga jumlah uang yang beredar cenderung naik dan
sebaliknya jika cadangan minimum dinaikan jumlah uang yang beredar cenderung
turun.
2.1.2 Strategi Kebijakan Moneter yang Optimal
Salah Satunya dengan Menggunakan Inflation Targeting
Inflation targeting adalah sebuah kerangka kebijakan moneter yang dicirikan
paling tidak oleh tiga hal. Pertama, kebijakan moneter diarahkan
secara eksplisit pada pencapaian target inflasi yang diumumkan secara
eksplisit kepada publik. Kedua, dalam framework ini, kebijakan
moneter dilakukan dengan merespon perkembangan inflasi ke depan (forward
looking). Ketiga, kebijakan moneter dilakukan secara
transaparan dengan akuntabilitas yang terukur. Inflation targeting mendorong
peningkatan “good governance” dari sebuah bank sentral, terutama dengan
adanya elemen transparansi dan akuntabilitas.
Inflation targeting yang disertai transparansi memberikan kontribusi yang
positif bagi pencapaian stabilitas harga pada khususnya dan perekonomian maupun
pasar keuangan pada umumnya. Pertama, dengan keterbukaan dan
transparansi menciptakan insentif bagi bank sentral untuk secara berhati-hati
menetapkan target inflasi dan mengoptimalkan seluruh upaya dan respon
kebijakan moneter untuk mencapai target tersebut. Kedua, transparansi
kebijakan moneter dapat mengurangi volatilitas pasar sehingga mengurangi biaya
inflasi pada perekonomian.
Implikasinya adalah dengan diumumkannya target inflasi kepada publik akan
mengurangi ketidakpastian ekspektasi inflasi ke depan. Ketidakpastian
tentang arah kebijakan bank sentral juga seringkali menciptakan volatilitas di
pasar keuangan. Biaya ekonomi yang ditimbulkan oleh inflasi seringkali
bersumber dari volatilitas atau ketidakpastian inflasi daripada disebabkan oleh
tingkat inflasi itu sendiri. Dengan berkurangnya ketidakpastian berarti
berkurangnya biaya yang ditimbulkan oleh inflasi. Ketiga, inflation
targeting dengan transparansi kebijakan membantu membangun kredibilitas bank
sentral dalam kebijakan moneter melalui komitmen pencapaian target
inflasi. Kredibilitas ini sangat diperlukan bagi bank sentral karena
mempengaruhi publik dalam membuat ekspektasi inflasi. Pasca IMF, membangun
kredibilitas kebijakan moneter ini menjadi lebih penting, mengingat selama ini
IMF secara rutin memonitor kebijakan moneter sehingga mendorong kebijakan
moneter dilakukan secara disiplin. Dengan diumumkannya target inflasi dan
kebijakan moneter yang akan dilakukan, bank sentral terdorong untuk disiplin.
Dengan meningkatnya kredibilitas akan mempermudah kebijakan moneter mempengaruhi
ekspektasi inflasi sehingga tujuan stabilitas harga lebih mudah dicapai dengan
biaya yang lebih murah.
2.1.3 Pengaruh Inflasi Terhadap Nilai Tukar
Pada
dasarnya kenaikan tingkat inflasi menunjukkan pertumbuhan perekonomian, namun
dalam jangka panjang, tingkat inflasi yang tinggi dapat memberikan dampak yang
buruk. Tingginya tingkat inflasi menyebabkan harga barang domestik relatif
lebih mahal dibanding dengan harga barang impor. Harga yang lebih mahal
menyebabkan turunya daya saing barang domestik di pasar internasional.
Masyarakat terdorong untuk membeli barang impor yang relatif lebih murah. Hal
ini berdampak pada turunnya nilai ekspor dan naiknya nilai impor.
Transaksi
terhadap barang dan jasa impor membutuhkan konversi mata uang domestik menjadi
mata uang asing. Meningkatnya permintaan mata uang asing cenderung melemahkan
mata uang domestik. Dengan kata lain, kenaikan harga yang menyebabkan kenaikan
tingkat inflasi cenderung menurunkan daya saing dan melemahkan nilai mata uang
domestik.
Ada
dua pendekatan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh perubahan inflasi
terhadap perubahan kurs.
Pendekatan
Pertama:
Inflasi
diartikan sebagai kenaikan harga komoditi, kemudian perubahan harga komoditi
ini digunakan sebagai acuan untuk memprediksi pergerakan kurs.
Nilai mata
uang dari negara yang mengalami inflasi tinggi atau lebih tinggi dari negara
lain akan mengalami depresiasi. Jika tingkat inflasi di Amerika lebih tinggi
daripada tingkat inflasi di Inggris, maka Dollar Amerika mengalami depresiasi
dan Poundsterking Inggris terapresiasi.
Pendekatan Kedua:
Inflasi
diartikan sebagai penurunan nilai mata uang, kemudian perubahan nilai mata uang
ini digunakan sebagai acuan untuk memprediksi pergerakan kurs.
Mata uang
dari negara yang mengalami inflasi lebih tinggi cenderung mengalami apresiasi.
Jika inflasi di Amerika lebih tinggi daripada di Inggris, maka kurs
GBP/USD mengalami penurunan. Pondsterling Inggris mengalami depresiasi
sedangkan Dollar Amerika mengalami apresiasi.
Kedua
pendekatan di atas memberi hasil yang saling berlawanan. Ketika inflasi
diartikan sebagai kenaikan harga komoditi, kemudian harga komoditi digunakan
sebagai acuan untuk memprediksi pergerakan kurs, maka mata uang dari negara
yang memiliki tingkat inflasi lebih tinggi cenderung mengalami depresiasi.
Ketika inflasi diartikan sebagai penurunan nilai mata uang, kemudian nilai mata
uang digunakan sebagai acuan untuk memprediksi pergerakan kurs, maka mata uang
dari negara yang memikili tingkat inflasi lebih tinggi cenderung mengalami
apresiasi.
2.1.4. Teori Purchasing Power
Parity
Pengaruh
tingkat inflasi terhadap kurs mata uang asing dapat dijelaskan dengan teori purchasing
power parity (PPP Theory) atau paritas daya beli. Teori ini
diperkenalkan oleh Gustav Cassel setelah Perang Dunia I. Berdasarkan teori PPP
relatif dapat diketahui bahwa kurs mata uang akan berubah untuk mempertahankan
daya belinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kurs mata uang asing
mencerminkan perbandingan antara nilai mata uang satu negara dengan negara
lainnya yang ditentukan oleh daya beli dari masing-masing negara.
Teori ini berbunyi sebagai
berikut:
“The price of a good in one
country should equal the price of the same good in another country, exchanged
at the current rate.” (Luca, 1995)
Teori ini
menyatakan bahwa harga barang di suatu Negara harus sama dengan harga barang
serupa di Negara lain sesuai dengan tingkat nilai tukar yang berlaku antarkedua
negara tersebut. Teori ini disebut The Law of One Price. Contoh: harga sepotong
roti di Amerika Serikat adalah 1 Dolar AS.
Apabila nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang berlaku saat ini adalah Rp 8.000,00/USD,
menurut asumsi The Las of One Price, harga sepotong roti di Indonesia harus Rp
8.000,00. Jadi, di mana pun kita membeli roti, apakah itu di Amerika Serikat
atau di Indonesia, harganya adalah sama, sesuai dengan perbandingan tingkat
nilai tukar yang berlaku antarkedua Negara tersebut.
Ada
beberapa kelemahan dari “hukum satu harga”,yaitu :
- Biaya transportasi, hambatan perdagangan, dan biaya transaksi lainnya, bisa menjadi signifikan.
- Harus ada pasar yang kompetitif untuk barang dan jasa di kedua negara.
- Hukum satu harga hanya berlaku untuk barang yang diperjual-belikan; barang tidak bergerak seperti rumah, dan banyak layanan yang bersifat lokal, tidak dapat diperdagangkan antar negara.
2.2 KOORDINASI, TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENARGETAN INFLASI
2. 2. 1 Koordinasi
Mengingat
bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor permintaan
(demand pull) namun juga faktor penawaran (cost push), maka agar
pencapaian sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif, kerjasaama dan
koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang
terintegrasi sangatlah diperlukan. Sehubungan dengan hal tersebut, di tingkat
pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah secara rutin menggelar Rapat
Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain, Bank
Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden
RI untuk memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter
terkait dengan pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter juga dilakukan dalam penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibahas bersama di DPR. Selain itu,
Pemerintah juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan
Utang Negara.
Di tataran teknis, koordinasi
antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi
Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat
sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis
terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang
Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan,
Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008
pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara
Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI
baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan
stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
berkelanjutan.
Menyadari
pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan
stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan
dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005.
Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian
Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani
tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli
2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang
diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran
TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian dan
Kemendagri.
2.1.3 Transparansi
Agar
kebijakan moneter dapat berkerja secara efektif, komunikasi yang terbuka antara
Bank Indonesia dengan masyarakat sangat dibutuhkan. Oleh karenanya, kebijakan
moneter Bank Indonesia senantiasa dikomunikasikan secara transparan kepada
masyarakat. Komunikasi tersebut juga sebagai bagian dari akuntabilitas
kebijakan moneter dan berperan dalam membantu pembentukan ekspektasi masyarakat
terhadap inflasi ke depan. Melalui komunikasi, Bank Indonesia mengajak
masyarakat untuk memandang dan membentuk tingkat inflasi ke depan sebagaimana
yang diitetapkan dalam sasaran yang diumumkan. Oleh karenanya, komunikasi
kebijakan moneter dilakukan dengan terus menerus memuat pengumuman dan
penjelasan tentang sasaran inflasi ke depan, analisis Bank Indonesia terhadap
perekonomian, kerangka kerja, dan langkah-langkah kebijakan moneter yang telah
dan akan ditempuh, jadwal Rapat Dewan Gubernur (RDG), serta hal-hal lain yang
ditetapkan oleh Dewan Gubernur.
Komunikasi
kebijakan moneter dilakukan dalam bentuk siaran pers, konferensi pers setelah
Rapat Dewan Gubernur, publikasi Tinjauan/Laporan Kebijakan Moneter yang memuat
latar belakang pengambilan keputusan, maupun penjelasan langsung kepada
masyarakat luas, media massa, pelaku ekonomi, analis pasar dan akademisi.
Inflation targeting yang disertai
transparansi memberikan kontribusi yang positif bagi pencapaian stabilitas
harga pada khususnya dan perekonomian maupun pasar keuangan pada umumnya. Pertama,
dengan keterbukaan dan transparansi menciptakan insentif bagi bank sentral
untuk secara berhati-hati menetapkan target inflasi dan mengoptimalkan seluruh
upaya dan respon kebijakan moneter untuk mencapai target tersebut. Kedua,
transparansi kebijakan moneter dapat mengurangi volatilitas pasar sehingga
mengurangi biaya inflasi pada perekonomian.
Implikasinya adalah dengan diumumkannya target inflasi kepada publik akan
mengurangi ketidakpastian ekspektasi inflasi ke depan. Ketidakpastian
tentang arah kebijakan bank sentral juga seringkali menciptakan volatilitas di
pasar keuangan. Biaya ekonomi yang ditimbulkan oleh inflasi seringkali
bersumber dari volatilitas atau ketidakpastian inflasi daripada disebabkan oleh
tingkat inflasi itu sendiri. Dengan berkurangnya ketidakpastian berarti
berkurangnya biaya yang ditimbulkan oleh inflasi. Ketiga, inflation
targeting dengan transparansi kebijakan membantu membangun kredibilitas bank
sentral dalam kebijakan moneter melalui komitmen pencapaian target
inflasi.
Media komunikasi Kebijakan Moneter
Bank Indonesia dalam bentuk publikasi :
Laporan perekomomian Indonesia merupakan bentuk laporan
pelaksanaan Tugas dan Wewenangnya Bank Indonesia yang disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pemerintah pada setiap tahun merupakan pemenuhan amanat
yang digariskan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah
dengan UU no.3 Tahun 2004. Laporan ini merupakan salah satu wujud dari
akuntabilitas dan transparansi atas pelaksanaan tugas dan wewenang BI yang
bertujuan mengevaluasi perkembangan ekonomi dan keuangan Indonesia.
- Laporan Triwulanan DPR RI
- Siaran Pers Kebijakan Moneter (link BI Rate)
2. 2. 4 Akuntabilitas
Bank
Indonesia secara reguler menyampaikan pertanggung-jawaban pelaksanaan kebijakan
moneter kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bentuk akuntabilitas Bank
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan
penyampaian secara tertulis maupun penjelasan langsung atas pelaksanaan
Kebijakan Moneter secara triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter
yang dipandang perlu. Selain itu Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanan
Kebijakan tersebut disampaikan pula kepada Pemerintah dan masyarakat luas untuk
transparansi dan koordinasi.
Dalam hal
sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank Indonesia
menyampaikan penjelasan kepada Pemerintah sebagai bahan penjelasan Pemerintah
bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada DPR dan masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
-
Pengaruh tingkat inflasi terhadap
kurs mata uang asing dapat dijelaskan dengan teori purchasing power parity
(PPP Theory) atau paritas daya beli. Teori ini diperkenalkan oleh Gustav Cassel
setelah Perang Dunia I. Berdasarkan teori PPP relatif dapat diketahui bahwa
kurs mata uang akan berubah untuk mempertahankan daya belinya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kurs mata uang asing mencerminkan perbandingan antara
nilai mata uang satu negara dengan negara lainnya yang ditentukan oleh daya
beli dari masing-masing negara.
-
Ada dua pendekatan yang bisa
digunakan untuk memprediksi pengaruh perubahan inflasi terhadap perubahan kurs
:
1.
Inflasi diartikan sebagai kenaikan
harga komoditi, kemudian perubahan harga komoditi ini digunakan sebagai acuan
untuk memprediksi pergerakan kurs.
Nilai
mata uang dari negara yang mengalami inflasi tinggi atau lebih tinggi dari
negara lain akan mengalami depresiasi. Jika tingkat inflasi di Amerika lebih
tinggi daripada tingkat inflasi di Inggris, maka Dollar Amerika mengalami
depresiasi dan Poundsterking Inggris terapresiasi.
2.
Inflasi diartikan sebagai penurunan
nilai mata uang, kemudian perubahan nilai mata uang ini digunakan sebagai acuan
untuk memprediksi pergerakan kurs.
Mata
uang dari negara yang mengalami inflasi lebih tinggi cenderung mengalami
apresiasi. Jika inflasi di Amerika lebih tinggi daripada di Inggris, maka
kurs GBP/USD mengalami penurunan. Pondsterling Inggris mengalami depresiasi
sedangkan Dollar Amerika mengalami apresiasi.
-
Kedua pendekatan di atas memberi
hasil yang saling berlawanan. Ketika inflasi diartikan sebagai kenaikan harga
komoditi, kemudian harga komoditi digunakan sebagai acuan untuk memprediksi
pergerakan kurs, maka mata uang dari negara yang memiliki tingkat inflasi lebih
tinggi cenderung mengalami depresiasi. Ketika inflasi diartikan sebagai
penurunan nilai mata uang, kemudian nilai mata uang digunakan sebagai acuan
untuk memprediksi pergerakan kurs, maka mata uang dari negara yang memikili
tingkat inflasi lebih tinggi cenderung mengalami apresiasi.
-
Koordinasi
antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi
Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat
sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis
terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang
Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan,
Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008
pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara
Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI
baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan
stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
berkelanjutan.
-
Transparansi
dan akuntabilitas. Agar kebijakan moneter dapat
berkerja secara efektif, komunikasi yang terbuka antara Bank Indonesia dengan
masyarakat sangat dibutuhkan. Oleh karenanya, kebijakan moneter Bank Indonesia
senantiasa dikomunikasikan secara transparan kepada masyarakat.
Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian secara
tertulis maupun penjelasan langsung atas pelaksanaan Kebijakan Moneter secara
triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang perlu.
Selain itu Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanan Kebijakan tersebut disampaikan
pula kepada Pemerintah dan masyarakat luas untuk transparansi dan koordinasi.
Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank Indonesia
menyampaikan penjelasan kepada Pemerintah sebagai bahan penjelasan Pemerintah
bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada DPR dan masyarakat.
DAFTAR PUSAKA
Inflation Stabilization and
Welfare. Vol. 2 [2002], No. 1, Article 1
Jochem, Axel.1999.Monetary
Stabilization in Countries in Transtition. IAER:February 1999 Vol.5 No.1
Nessen, Marianne and Ulf
Soderstrom.2001. Core Inflation and Monetary Policy. International Finance 4:3,
2001: pp. 401–439
Nolan, Charles.2002.Monetary
Stabilitation Policy in a Monetary Union:Some Simple Analytics.Scottish Journal
of Polytical Economy Vol.49 No.2 Mei 2002
Warjiyo, Perry.2004.Bank
Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta. PPSK Bank
Indonesia
Wikipedia. Kebijakan Moneter.
Online [accessed on Mei 2010]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar